Minggu, 11 April 2010

Pencinta Alam Dan Paradigma Gerakan Lingkungan

Setiap kampus pasti memiliki Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Salah satunya UKM "Pencinta Alam". UKM "Pencinta Alam" biasanya disesuaikan dengan nama kampus atau pun dengan nama-nama lain yang mempunyai arti dari nama organisasi nya tersebut.
Sebuah artikel menarik saya temukan di majalah intisari beberapa tahun yang lalu, jika membaca judulnya pasti para anggota pencinta alam langsung tertarik dan penasaran siapakah pencinta alam gadungan ini, dan begitu membaca isi artikelnya mereka akan tersadar sebenarnya merekalah yang sedang dibahas.
Pencinta alam ini umumnya memiliki ciri hampir sama. Berperilaku agak "nyeleneh", rambut gondrong, pakaian "kumal" (acak-acakan), sepatu butut dan jarang membersihkan diri. dengan pakaian khas mereka (jaket).

Benarkah mereka sungguh-sungguh mencintai lingkungan? Sebagai mahasiswa, saya sering mengikuti kegiatan mahasiswa pencinta alam.
Lingkungan hidup kita tidak hanya dirusak oleh penebang liar dan konglomerat (pengusaha kayu), tapi juga oleh para mahasiswa yang mengaku "pencinta alam" itu. Mereka buang sisa makanan berikut bungkusnya, kertas koran dan botol plastik dibiarkan berserakan di tengah hutan atau aliran sungai, puncak gunung, hutan, dsb. "pencinta alam" ini acapkali membuat api unggun di tengah hutan. Ironisnya lagi, mereka suka berdisko ria mengitari api unggun di kegelapan malam, sehingga memperparah kerusakan lingkungan.. Seandainya mereka sungguh cinta lingkungan, kegiatan utama mereka semestinya bukan mendaki gunung atau mejeng ria di tengah hutan "perawan". Sebaiknya mereka membersihkan aliran sungai yang kotor, menanam pohon pada lahan-lahan gersang atau ikut membantu pasukan kuning membersihkan sampah di tengah kota.

Nama pencinta alam memang memiliki beban yang sangat berat, penyandangnya harus menunjukkan sikap mencintai alam, sementara yang kita lihat sekarang kegiatan organisasi-organisasi ini lebih banyak kearah petualangan dan olahraga, hanya sebagian kecil yang benar-benar merawat alam, mungkin organisasi-organisasi ini lebih cocok menggunakan nama Mahasiswa Penggemar Olahraga Petualangan.
Pencinta alam di Indonesia saat ini belum dirasakan sebagai salah satu akar gerakan lingkungan, terbukti dalam korelasinya saat ini dengan menjamurnya perhimpunan pencinta alam seiring pula dengan kerusakan yang tidak terkendali. Dimanakah letak penyimpangan ini karena keberadaan pencinta alam dalam tataran yang ideal dapat menumbuhkembangkan generasi yang peduli lingkungan. ini patut dikembangkan baik dalam pola gerakan maupun pengembangan organisasinya. Namun dalam tataran real tidak bisa di bedakan antara pencinta alam dan penggiat alam terbuka karena keduanya hampir tidak bisa dibedakan mana yang penggiat dan mana pencinta alam
Model gerakan lingkungan yang berasal dari pencinta alam pada periode kelahirannya lebih menekankan pada kecintaan terhadap alam yang diwujudkan dengan naik gunung, camping, pelatihan konservasi, dan penghijauan di lereng-lereng gunung. Selain kecintaan terhadap alam, mereka ornop dan sebagian pencinta alam masih terkonsentrasi pada model pembangunan. Karena mereka masih meyakini kebenaran model pembangunan berkelanjutan dengan standar kemajuan ekonomi yang sesungguhnya menimbulkan dampak.

Dua nama, pencinta alam dan penggiat alam terbuka seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun space, ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam. Di lain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya. Sementara itu, petualang aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas petualangan seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.

Belakangan, berlahiran kelompok-kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai “Kelompok Pecinta Alam, (KPA)”. Namun, keberadaaan mereka belum mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan
mencitrakan kelompoknya sebagai pencinta alam, sebagai petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan oleh KPA-KPA lain, dengan demikian banyak diantara para “pencinta alam” itu cuma sebatas “gaya” yang menggunakan alam sebagai alat. Pencinta alam dunia dengan gerakan enviromentalisme yang berjuang keras dalam menjaga keseimbangan alam ini patut kita contoh sebagai satu gerakan untuk masa depan, kini yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah dimanakah pencinta alam, begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam sebagai medianya. Bahkan Tak jarang aktivitas mereka berakhir dengan terjadinya tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang harus di kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak merekapun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. Sebuah harapan untuk mengembalikan keseimbangan alam ini supaya terhindar dari terputusnya sistem dalam kehidupan ini bukan tanggung jawab pencinta alam atau penggiat alam terbuka saja tapi tugas kita semua sebagai mahluk penghuni bumi dan dua arah yang berbeda dapat bersatu untuk menciptakan kelestarian alam ini khususnya lingkungan hidup.

Aktivis lingkungan hidup dunia dengan gerakan cinta lingkungannya akan lebih berarti tindakannya dengan dukungan dari para pencinta alam yang ada di negeri ini. Dalam perbedaan pola fikir dan arah gerak pencinta alam dengan penggiat alam terbuka terdapat kesamaan pula dengan media yang sama untuk itu bukanlah suatu kemustahilan keduanya bersatu untuk masa depan lingkungan hidup Indonesia sehingga terciptanya lingkungan hidup yang seimbang, stabil dan bermanfaat bagi kehidupan sekarang dan masa depan. Sebuah peringatan kepada kemanusiaan yang diterbitkan oleh 1.575 ilmuwan dari enam puluh sembilan negara yan mengikuti Konverensi Rio tahun 1992 perlu kita ketahui sebagai sebuah awal penyadaran untuk lingkungan hidup ini.

“Peringatan “ itu antara lain :
“umat manusia dan alam berada pada arah yang bertabrakan. Kegiatan manusia mengakibatkan kerusakan besar pada lingkungan dan sumber daya yang sangat penting yang seringkali tidak dapat di pulihkan. Jika tidak dikaji, banyak dari kegiatan kita sekarang yang ini menempatkan masa depan pada keadaan yang sangat beresiko, sehingga kita menghadapi realitas masyarakat manusia dan alam tumbuhan dan hewan dan mungkin juga dunia tempat kita hidup ini berubah sedemikian rupa, sehingga tidak dapat lagi mendukung kehidupan menurut cara yang kita kenal. Perubahan fundamental adalah urgen jika kita ingin menghindarkan benturan dalam arah perjalanan kita yang sekarang ini terjadi.(“ World scientist Warning to Humanity “ , Pernyataan siaran pers diterbitkan 18 November 1992 oleh The Union of Concerned Scientist.) “

Ancaman yang menempatkan alam dan penghuninya (manusia maupun bukan manusia) berada dalam bahaya ini patut kita ketahui bersama tentang konsekuensi dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh umat manusia sebagai penghuni bumi ini.
Masalah - masalah lingkungan hidup seringkali tidak menjadi prioritas yang tinggi dan seringkali menjadi sub agenda dengan demikian akhirnya larut dan tenggelam dalam tema-tema kampanye yang lebih luas dan abstrak. Enviromentalisme suatu faham yang menempatkan lingkungan hidup sebagai pola dan arah gerakannya. Bagi sebagian pihak enviromentalisme mungkin asing karena enviromentalisme dianggap sebagai gerakan yang membahayakan orde pada waktu itu (orde baru) terutama dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan ekploitasi hutan. Organisasi non politik yang concern pada lingkungan pada masa itu pun di arahkan langsung oleh Emil Salim waktu itu menjabat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup untuk tidak mengikuti taktik Green Peace ataupun The German Green yang bisa masuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan dampak lingkungan hidup terhadap alam ataupun masyarakat. Sedangkan gerakan lingkungan hidup menurut literatur sosiologi istilah “gerakan lingkungan hidup” digunakan dalam tiga pengertian yaitu pertama sebagai penggambaran perkembangan tingkah laku kolektif (collective behavior). Kedua, sebagai jaringan konflik-konflik dan interaksi politis seputar isu-isu lingkungan hidup dan isu-isu lain yang terkait. Ketiga, sebagai perwujudan dari perubahan opini publik dan nilai-nilai yang menyangkut lingkungan. Di Indonesia istilah gerakan lingkungan hidup di pakai dalam konsorsium : “15 tahun Gerakan Lingkungan Hidup : Menuju Pembangunan Berwawasan Lingkungan”. Yang di selenggarakan oleh kantor Meneg Kependudukan Dan Lingkungan Hidup di Jakarta, 5 Juni 1972.

Denton E Morrison mengusulkan bahwa yang di sebutkan gerakan lingkungan hidup sesungguhnya terdiri dari 3 komponen yaitu komponen pertama, the organized or voluntary enviromental movement ( gerakan lingkungan yang terorganisir atau gerakan yang sukarela ) termasuk dalam kategori ini adalah organisasi lingkungan seperti Enviromental Devense Fund Green Peace atau di Indonesia ada WALHI Jaringan Pelestarian Hutan “SKEPHI”. Komponen kedua, The publik enviromental movement (gerakan lingkungan publik ) adalah khalayak ramai yang dengan sikap sehari-hari dalam tindakan dan kata-kata mereka menyatakan kesukaan mereka terhadap ekosistem tertentu, pola hidup tertentu serta flora dan fauna tertentu. Komponen ketiga The Institusional Enviromental Movement (gerakan lingkungan terlembaga) ini sangat menentukan dalam negara - negara berkembang dimana peranan negara sangat dominan dan peranan aparat-aparat birokrasi resmi mempunyai kewenangan hukum (yuridiksi) terhadap kebijakan umum tentang lingkungan hidup atau yang berkaitan dengan lingkungan hidup sebagai contoh di Amerika ada Badan Perlindungan Lingkungan (EPA - Enviromental Protection Agency), Dinas Pertamanan Nasional (National Park Service)
Padanannya di Indonesia adalah Kantor Meneg KLH, DEPHUT. Komponen gerakan lingkungan terlembaga ini penting untuk di amati sendiri ambilah contoh keberhasilan EPA dalam mengendalikan polusi air dan udara misalnya di pengaruhi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, kebijaksanaan luar negeri serta ketersediaan sumber-sumber energi. Hakikat gerakan lingkungan menurut Buttel dan Larson mempunyai beberapa manfaat, pertama struktur gerakan lingkungan di setiap negara yakni hubungan diantara tiga komponen itu bisa berbeda-beda dan ini membawa variasi yang cukup berarti di antara paham lingkungan (enviromentalisme) negara-negara itu. Kedua, taktik dan ideologi gerakan lingkungan terorganisir di suatu negara dapat di lihat sebagai hasil interaksi diantara komponen - komponen kelas negara itu satu pihak, dan kelompok-kelompok kepentingan (interces group) dilain pihak.

Perubahan paradigma dalam tubuh pencinta alam bukan sebuah kemustahilan untuk berubah dan seimbang dengan kegiatan kegiatan alam terbuka yang biasa digelutinya. Tidak menutup kemungkinan sebuah gerakan radikal untuk masalah kesadaran lingkungan terwujud dalam satu koridor gerakan lingkungan karena masalah lingkungan adalah masalah bersama yang membutuhkan kerjasama dari setiap stake holder pelaku, pemerhati dan aktivis yang bergerak atas nama lingkungan. Dalam konteks gerakan lingkungan, maka tantangan yang semakin besar di masa mendatang mengharuskan kita untuk melakukan reposisi gerakan lingkungan menjadi gerakan sosial, karena ini adalah satu-satunya jalan untuk menghadapi dominasi pasar dan globalisasi. Pencinta alam benaran semestinya berusaha mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup. Mereka akan berusaha menanam tumbuh-tumbuhan pada lahan-lahan kering, berusaha mengatasi tanah longsor, bahaya banjir, berusaha menyelamatkan flora dan fauna serta menentang perbuatan merusak lingkungan. Usaha-usaha itulah yang seharusnya menjadi fokus perjuangan para pencinta alam. Sehingga mereka tidak dicap "pencinta alam gadungan".

Persoalan yang dilontarkan diatas memang merupakan pengamatan yang dalam terhadap aktivitas mahasiswa yang mengaku anak alam atau yang sering disebut pencinta alam, tetapi sebaliknya, saya sebenarnya juga kurang sependapat dengan opini tersebut.
Di dalam sebuah organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau yang sejenisnya, kegiatan yang lebih ditonjolkan adalah sistem organisasinya. Para aktivis lebih banyak ditempa menjadi planner. Demikian halnya dengan organisasi pencinta alam. Kegiatan outdoor bukan mustahil menantang bahaya, terutama alam yang tidak bisa diduga. Dengan berlandaskan pengetahuan tentang kondisi alam sesungguhnya, pencinta alam akan terbiasa membuat planning, terutama soal safety-nya. Jika hanya melihat dari kulit, memang pencinta alam tampak beringas dan kumuh. Tetapi di balik itu, orang-orang yang kini berhasil mendapatkan pekerjaan setelah lulus adalah orang-orang yang, ketika masih berstatus mahasiswa, aktif dalam kegiatan tersebut. Sepintas pencinta alam tampak jauh dari nilai rapi. Tapi pola pikir mereka justru melebihi mahasiswa yang sekadar kenal kursi, diktat, dan kost. Nilai sosialisasi mereka tinggi. Hal ini bisa dibuktikan dengan follow-up setelah lulus.

Kalau hanya menyudutkan pada sisi kerusakan lingkungan dan penanaman pohon, jangan salahkan pencinta alam sebab budaya kesadaran itu memang tidak terdapat pada seluruh bangsa. Sudah banyak contoh kasus. Ketika pencinta alam banting tulang mencangkul wilayah longsor, banyak lembaga dan institusi yang berkedok sukarelawan, memanfaatkan momen bencana untuk mencari fulus. Bukti ini ada di depan mata. Bahkan banyak bapak-bapak berseragam tiba-tiba jadi artis, nampang sambil pegang cangkul. Tapi setelah juru kamera pergi, apa yang mereka lakukan? Tak lebih mereka cuma ngerumpi sambil suit-suit cewek. Menyudutkan pencinta alam sebagai sumber kerusakan alam, sungguh tidak beralasan. Tetapi sebagai salah satu anggota organisasi pencinta alam, saya ingin meluruskan bahwa tidak semua pencinta alam seperti opini di atas prediksikan. Mungkin opini tersebut hanya melihat dari sisi beberapa organisasi yang pernah diperhatikan, dan dalam hal ini mereka mungkin pantas disebut sebagai oknum karena telah membuat orang lain yang dalam hal ini termasuk memvonis bahwa pencinta alam itu hanyalah sebuah nama tanpa perilaku nyata, kita juga perlu tahu bahwa tidak semua organisasi pencinta alam berperilaku seperti apa yang dikatakan. Memang ada oknum-oknum yang sama sekali tidak mengerti arti dari pencinta alam itu sendiri. Tetapi di balik itu semua ada banyak juga organisasi atau manusia pencinta alam yang selalu berusaha berorientasi untuk menjadi pencinta alam yang benar-benar cinta alam dan mereka kerap melakukan OPSIH (operasi bersih) dalam tiap perjalanannya untuk membersihkan jalur-jalur pendakian dan alam sekitarnya, serta melakukan kegiatan-kegiatan sosial.

Satu hal yang harus diambil hikmahnya dari tulisan itu adalah semoga para oknum tersebut dapat membuka mata dan pikirannya untuk sesegera mungkin mengubah perilakunya yang sangat merugikan nama baik pencinta alam tersebut.
Maju terus pencinta alam indonesia.......

sumber : Berbagai Sumber
Oleh : andRyana